Indonesia
pertamakali dalam melaksanakan Pemilu pada akhir tahun 1955 yang diikuti oleh
banyak partai ataupun perseorangan. Dan pada tahun 2004 telah dilaksanakan
pemilu yang secara langsung untuk memilih wakil wakil rakyat serta presiden dan
wakilnya. Dan sekarang ini mulai bulan Juni 2005 telah dilaksanakan Pemilihan
Kepala Daerah atau sering disebut pilkada langsung. Pilkada ini merupakan
sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Ada lima pertimbangan penting
penyelenggaraan pilkada langsung bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
1. Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi
rakyat karena pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepala
desa selama ini telah dilakukan secara langsung.
2. Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD
1945. Seperti telah diamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati
dan Wali Kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU No
32 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
3. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi
(politik) bagi rakyat (civic education). Ia menjadi media pembelajaran praktik
berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif
segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya.
1. Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi
daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin
lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pilkada langsung 2005,
maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara
lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memerhatikan
kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.
2. Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses
kaderisasi kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan
nasional amat terbatas. Dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200
juta, jumlah pemimpin nasional yang kita miliki hanya beberapa. Mereka sebagian
besar para pemimpin partai politik besar yang memenangi Pemilu 2004. Karena
itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari pilkada langsung ini.
Pelaksanaan dan Penyelewengan Pilkada
Pilkada ini ditujukan untuk memilih Kepala
daerah di 226 wilayah yang tersebar dalam 11 provinsi dan 215 di kabupaten dan
kota. Rakyat memilih kepala daerah masing masing secara langsung dan sesuai
hati nurani masing masing. Dengan begini diharapkan kepala daerah yang terpilih
merupakan pilihan rakyat daerah tersebut. Dalam pelaksanaannya pilkada
dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah masing masing. Tugas yang
dilaksanakan KPUD ini sangat berat yaitu mengatur pelaksanaan pilkada ini agar
dapat terlaksana dengan demokratis. Mulai dari seleksi bakal calon, persiapan
kertas suara, hingga pelaksanaan pilkada ini.
Dalam pelaksanaannya selalu saja ada masalah
yang timbul. Seringkali ditemukan pemakaian ijasah palsu oleh bakal calon. Hal
ini sangat memprihatinkan sekali . Seandainya calon tersebut dapat lolos bagai
mana nantinya daerah tersebut karena telah dipimpin oleh orang yang bermental
korup. Karena mulai dari awal saja sudah menggunakan cara yang tidak benar. Dan
juga biaya untuk menjadi calon yang tidak sedikit, jika tidak iklas ingin
memimpin maka tidakan yang pertama adalah mencari cara bagaimana supaya uangnya
dapat segera kemali atau “balik modal”. Ini sangat berbahaya sekali.
Dalam pelaksanaan pilkada ini pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Seringkali bagi pihak yang kalah tidak dapat menerima kekalahannya dengan lapang dada. Sehingga dia akan mengerahkan massanya untuk mendatangi KPUD setempat. Kasus kasus yang masih hangat yaitu pembakaran kantor KPUD salah satu provinsi di pulau sumatra. Hal ini membuktikan sangat rendahnya kesadaran politik masyarakat. Sehingga dari KPUD sebelum melaksanakan pemilihan umum, sering kali melakukan Ikrar siap menang dan siap kalah. Namun tetap saja timbul masalah masalah tersebut.
Selain masalah dari para bakal calon, terdapat juga permasalahan yang timbul dari KPUD setempat. Misalnya saja di Jakarta, para anggota KPUD terbukti melakukan korupsi dana Pemilu tersebut. Dana yang seharusnya untuk pelakasanaan pemilu ternyata dikorupsi. Tindakan ini sangat memprihatinkan. Dari sini dapat kita lihat yaitu rendahnya mental para penjabat. Dengan mudah mereka memanfaatkan jabatannya untuk kesenangan dirinya sendiri. Dan mungkin juga ketika proses penyeleksian bakal calon juga kejadian seperti ini. Misalnya agar bisa lolos seleksi maka harus membayar puluhan juta.
Dalam pelaksanaan pilkada di lapangan banyak sekali ditemukan penyelewengan penyelewengan. Kecurangan ini dilakukan oleh para bakal calon seperti :
Dalam pelaksanaan pilkada ini pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Seringkali bagi pihak yang kalah tidak dapat menerima kekalahannya dengan lapang dada. Sehingga dia akan mengerahkan massanya untuk mendatangi KPUD setempat. Kasus kasus yang masih hangat yaitu pembakaran kantor KPUD salah satu provinsi di pulau sumatra. Hal ini membuktikan sangat rendahnya kesadaran politik masyarakat. Sehingga dari KPUD sebelum melaksanakan pemilihan umum, sering kali melakukan Ikrar siap menang dan siap kalah. Namun tetap saja timbul masalah masalah tersebut.
Selain masalah dari para bakal calon, terdapat juga permasalahan yang timbul dari KPUD setempat. Misalnya saja di Jakarta, para anggota KPUD terbukti melakukan korupsi dana Pemilu tersebut. Dana yang seharusnya untuk pelakasanaan pemilu ternyata dikorupsi. Tindakan ini sangat memprihatinkan. Dari sini dapat kita lihat yaitu rendahnya mental para penjabat. Dengan mudah mereka memanfaatkan jabatannya untuk kesenangan dirinya sendiri. Dan mungkin juga ketika proses penyeleksian bakal calon juga kejadian seperti ini. Misalnya agar bisa lolos seleksi maka harus membayar puluhan juta.
Dalam pelaksanaan pilkada di lapangan banyak sekali ditemukan penyelewengan penyelewengan. Kecurangan ini dilakukan oleh para bakal calon seperti :
1. Money politik
Sepertinya money politik ini selalu saja
menyertai dalam setiap pelaksanaan pilkada. Dengan memanfaatkan masalah ekonomi
masyarakat yang cenderung masih rendah, maka dengan mudah mereka dapat
diperalat dengan mudah. Contoh yang nyata saja yaitu di lingkungan penulis
yaitu desa Karangwetan, Tegaltirto, Berbah, Sleman, juga terjadi hal tersebut.
Yaitu salah satu dari kader bakal calon membagi bagikan uang kapada masyarakat
dengan syarat harus memilih bakal calon tertentu. Tapi memang dengan uang dapat
membeli segalanya. Dengan masih rendahnya tingkat pendidikan seseorang maka
dengan mudah orang itu dapat diperalat dan diatur dengan mudah hanya karena
uang.
Jadi sangat rasional sekali jika untuk menjadi calon kepala daerah harus mempunyai uang yang banyak. Karena untuk biaya ini, biaya itu.
Jadi sangat rasional sekali jika untuk menjadi calon kepala daerah harus mempunyai uang yang banyak. Karena untuk biaya ini, biaya itu.
2.Intimidasi
Intimidasi ini juga sangat bahaya. Sebagai contoh juga yaitu di daerah penulis oknum pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah satu calon. Hal ini sangat menyeleweng sekali dari aturan pelaksanaan pemilu.
Intimidasi ini juga sangat bahaya. Sebagai contoh juga yaitu di daerah penulis oknum pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah satu calon. Hal ini sangat menyeleweng sekali dari aturan pelaksanaan pemilu.
3.Pendahuluan start kampanye
Tindakan ini paling sering terjadi. Padahal
sudah sangat jelas sekali aturan aturan yang berlaku dalam pemilu tersebut.
Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran. Sering
juga untuk bakal calon yang merupakan Kepala daerah saat itu melakukan
kunjungan keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi ketika
mendekati pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika sedang memimpin dulu.
Selain itu media TV lokal sering digunakan sebagi media kampanye. Bakal calon
menyam paikan visi misinya dalam acara tersbut padahal jadwal pelaksanaan
kampanye belum dimulai.
4. Kampanye negatif
Kampanye negatif ini dapat timbul karena
kurangnya sosialisasi bakal calon kepada masyarakat. Hal ini disebabkan karena
sebagian masyarakat masih sangat kurang terhadap pentingnya informasi. Jadi
mereka hanya “manut” dengan orang yang disekitar mereka yang menjadi
panutannya. Kampanye negatif ini dapat mengarah dengan munculnya fitnah yang
dapat merusak integritas daerah tersebut.
Solusi
Dalam melaksanakan sesuatu pasti ada kendala yang harus dihadapi. Tetapi bagaimana kita dapat meminimalkan kendala kendala itu. Untuk itu diperlukan peranserta masyarakat karena ini tidak hanya tanggungjawab pemerintah saja. Untuk menggulangi permasalah yang timbul karena pemilu antara lain :
1. Seluruh pihak yang ada baik dari daerah sampai pusat, bersama sama menjaga ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pilkada ini. Tokoh tokoh masyarakat yang merupakan panutan dapat menjadi souri tauladan bagi masyarakatnya. Dengan ini maka dapat menghindari munculnya konflik.
Solusi
Dalam melaksanakan sesuatu pasti ada kendala yang harus dihadapi. Tetapi bagaimana kita dapat meminimalkan kendala kendala itu. Untuk itu diperlukan peranserta masyarakat karena ini tidak hanya tanggungjawab pemerintah saja. Untuk menggulangi permasalah yang timbul karena pemilu antara lain :
1. Seluruh pihak yang ada baik dari daerah sampai pusat, bersama sama menjaga ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pilkada ini. Tokoh tokoh masyarakat yang merupakan panutan dapat menjadi souri tauladan bagi masyarakatnya. Dengan ini maka dapat menghindari munculnya konflik.
2. Semua warga saling menghargai pendapat.
Dalam berdemokrasi wajar jika muncul perbedaan pendapat. Hal ini diharapkan
tidak menimbulkan konflik. Dengan kesadaran menghargai pendapat orang lain,
maka pelaksanaan pilkada dapat berjalan dengan lancar.
3. Sosialisasi kepada warga ditingkatkan.
Dengan adanya sosialisasi ini diharapkan masyarakat dapat memperoleh informasi
yang akurat. Sehingga menghindari kemungkinan fitnah terhadap calon yang lain.
4. Memilih dengan hati nurani. Dalam memilih
calon kita harus memilih dengan hati nurani sendiri tanpa ada paksaan dari
orang lain. Sehingga prinsip prinsip dari pemilu dapat terlaksana dengan baik.
Kesimpulan
Dari pengalaman masa lalu bangsa kita, kelihatan bahwa demokrasi belum membudaya. Kita memang telah menganut demokrsai dan bahkan telah di praktekan baik dalam keluarga, masyarakat, maupun dalam kehidupan bebangsa dan bernegara. Akan tetapi, kita belum membudanyakannya.
Dari pengalaman masa lalu bangsa kita, kelihatan bahwa demokrasi belum membudaya. Kita memang telah menganut demokrsai dan bahkan telah di praktekan baik dalam keluarga, masyarakat, maupun dalam kehidupan bebangsa dan bernegara. Akan tetapi, kita belum membudanyakannya.
Membudaya berarti telah menjadi kebiasaan yang
mendarah daging. Mengatakan “Demokrasi telah menjadi budaya” berarti
penghayatan nilai-nilai demokrasi telah menjadi kebiasaan yang mendarah daging
di antara warga negara. Dengan kata lain, demokrasi telah menjadi bagian yang
tidak dapat dipisah-pisahkan dari kehidupanya. Seluruh kehidupanya diwarnai
oleh nilai-nilai demokrasi.
Namun, itu belum terjadi. Di media massa kita
sering mendengar betapa sering warga negara, bahkan pemerintah itu sendiri,
melanggar nilai-nilai demokrasi. Orang-orang kurang menghargai kebabasan orang
lain, kurang menghargai perbedaan, supremasi hukum kurang ditegakan, kesamaan
kurang di praktekan, partisipasi warga negara atau orang perorang baik dalam
kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan pilitik belum maksimal, musyawarah
kurang dipakai sebagai cara untuk merencanakan suatu program atau mengatasi
suatu masalah bersama, dan seterusnya. Bahkan dalam keluarga dan masyarakat
kita sendiri, nilai-nilai demokrasi itu kurang di praktekan.
Sumber : www.lprasaja.web.ugm.ac.id/files